***
Pagi telah menyingsing. Menyemburatkan keceriaan yang tak terkira. Namun ketegangan mengharu biru dalam hati kami. Dua ornga gadis yang akhirnya menamatkan studinya di sebuah perguruan tinggi, menanti hari jadinya. Impian itu akhirnya teralisasi. Hanya beberapa jam lagi. Setelah matahari benar-benar bulat, kami dengan berdebar menyandang sebuah gelar sebagai serang sarjana pembaharu ekonomi islam. Tertawa riang dan senyum selebar-lebarnya di sepan lensa kamera bersama ayah-bunda, adik-kakak, kawan-kawan. Ah, gembiranya…
Tak sabar rasanya.padahal hanya tinggal beberpa jam saja menunggu. Menunggu ayah-bunda, adik-kakak datang menjemput, kemudian pergi bersama. Menunggu sebuah nama yang akan diumumkan dengan rasa haru dan takjub. Menunggu disematkan mimpi itu oleh kuasa-Nya.
Saking bahagianya, aku tak sadar. Seorang gadis dengan balutan jilbab putihnya meringkuk di sudut kamar, menggenggam sesuatu. Matanya sembab. Tak terpancar sedikitpun raut kebahagiaan. Atau, Aku salah? Gadis itu mengusap lembah pipinya yang basah sembari mengulang istighfar.
“Teh…”. Ia tak menyahut. Pandangannya tertunduk, memeluk lekat-lekat kedua kakinya. Wajah sendunya bertumpu pada kedua lututnya. Tubuhnya yang dingin gemetaran.
Kuhampiri ia. Kugenggam erat kedua tangannya, berharap menghadirkan kehangatan menyelimuti tubuhnya. Sekelebat getaran gelombang listrik menjalar ke tubuhku. Bak sebuah induksi listrik. Genggaman erat jari-jari tangan ibarat kumparan tergulung hinga menimblkan medan magnet karena loncatan listri berbeda tegangan. Terciptalah fluks magnet penghasil informasi melalui induksinya dalam sepersekian detik, menembus tapak tanganku.
Syaraf-syaraf tanganku mulai bekerja – menghanrtarkan induksi melewati sekawanan dendrit dan akson. Berestafet ria laksana jet temput menunggangi syaraf sensorik memasuki neuron-neuron otak dan dalam sekejap menghasilkan gambaran. Teramat jelas. Sungguh ajaib! Maha suci sang pencipta sistematika berkecepatan kilat yang teramat kompleks.
Ia menengadah, kutata lekat-lekat kedua mata sendunya. Aku pun dapat membaca lebaran kisah yang terlukis di kedua matanya. Aku tertunduk, menyaksikan ubin-ubin putih nan teratur.
***
Akhirnya, sebuah singgasana – dalam opera mini realita ibukota di atas bus berjalan yang melaju – berhasil kami duduki. Terasa nyaman sekali. Walau berderet retakan di sana-sini bercapur besi yang teroksidasi, menguning dimakan waktu. Opera mini pun berhenti. Belasan orang berjejal masuk berebut tempat. Rentetan bangku kosong berwarna biru akhirnya penuh sesak penumpang.
Masih hangat pengalaman yang baru saja terjadi. Sambil mengatur napas yang masih tersengal karena berlari mengejar bus putih-hijau yang hendak menyerobot kemacetan berpacu dengan lampu hijau yang hampir usai. Kami tergopoh-gopoh meraih gagang pintu bus itu. Tiba-tiba, sang sopir menginjak pedal terlampau dalam – menghindari sebuah motor bebek yang melintas mendadak dari arah kanan hendak berbelok – saat kami berhasil meraih gagang pintu bus yang melemparkan wajah kami di kaca dekat pegangan besi. Kami yang tak siap akhirnya beradu badan menumbuk sisi bus, meringis kesakitan.
Bus berhenti. Sang sopir mengibaskan tangan hendak meregangkan diri sembari menghela nafas. Hampir saja sebuah tragedi jalanan akan terjdi. Tapi, dasar sopir! Hardikan, caci-maki hingga sumpah serapah keluar dari lidahnya. Tangannnya mengepal bergerak naik-turun ke arah si pengendara.
Seenak kami bertatapan. Kemudian bangkit dan tergopohgopoh mencari tempat duduk. Dengan tatapan nanar, napas tersengal dan dahi mengerenyit, tentunya diselimuti rasa takut, kesal dan hati berdebar saat aku beradu pandang dengan kondektur bus yang sejak tadi menertawakan nasib kami. Tanganku mengepal. Argghhh…memangnya ini lelucon! Hardikku dalam hati.
Tawa pun mengalir. Beginilah nasib kami. Dua orang mahasiswi berbalut jilbab menghentakan kaki tiap harinya bersama opera jalanan yang bergerak di atas roda. Biar peluh menggerogti tenaga kami, tapi ia tak akan pernah meruntuhkan semangat kami menuntut ilm8. Dan dalam bus ini kami memulai cerita.
Hari ini adalah hari bersejarah. Walaupun kami harus menelan ludah menahan amarah dan dahaga pada sang kondektur bus putih-hijau, tentunya pada sang sopir. Masih hangat ingatan kami sore tadi sebelum akhirnya senja menghampiri mempertemukan kami pada bus putih-hijau dan awaknya. Ya, kami juga berlari-lari. Setelah hamper setengah jam menunggu, bus kuning “Koantas Bima” bernomor 102 akhirnya muncul. Kami sedang bertransaksi di sebuah warung kecil, terkesiap.
Setelah mengantongi sejumlah uang kembalian, kami berancang-ancang mengejar bus. Beradu cepat dengan bus yang merayap. Uniknya, sang kondektur – yang ternyata seorang wanita paruh baya – malah menyemangati kami. Bus berhenti di tengah penuhnya arus kendaraan di sepanjang jalan kawasan Ciputat. Kami menyambangi bus dengan suka cita dan riuh-ria tepukan sang ibu kondektur. Geli!
Lipi, lipi, lipi… Tanah Abang..!!!
Bus tak terlau ramai. Ibu kondektur membunyikan uang logam, pertanda ongkos harus segera disiapkan. Kuamati wajahnya, sepertinya baru kepal empat. Bus melaju dengan cepat, sang sopir nampak bergairah.
Begitu banyak peristiwa yang kami rekam di dalam bus-bus yang kami tumpangi. Peritiwa nyata, tanpa rekayasa sedikitpun. Peristiwa yang mengalirkan tawa seperti yang barusan kami alami, mendebarkan bila bertemu orang-orang yang menggidikan bulu roma, peristiwa unik dan penuh hikmah, bahkan tak jarang peristiwa-perisrtiwa yang menyadarkan kalbuku mengenai realita bangsa ini, khususnya kota Jakarta tercinta ini. Itu dia, kenapa aku menyebutnya opera realita kehidupan ibukota. Karena di dalamnya selalu dipentaskan opera-opera namun bukan sandiwara yang sering terlupa, opera yang menggetarkan benang kalbu, opera nyata tanpa polesan para tokoh-tokohnya, tanpa banyak suara yang ingin menang sendiri dan tanpa tipu daya orang-orang yang haus kekuasaan.
***
"Asslammualaikum...". Sebuah wajah ramah pemilik mata sendu membuka pintu menyambut diriku.
"Dateng sendiri Na?". Aku mengangguk. Matanya menyorot sepeda yang kuparkirkan di tepi jalan kecil samping rumahnya.
"Bawa sepeda? Masukan aja sepedanya ke dalam sini.."
"Iya, dong! Namanya juga laskar pencinta bumi, hehe...". Jawabku sambil menggiring sepeda ungu kesayangku masuk ke sebuah rumah mengikuti instruksinya.
"Teh Lilis, ini ..".
"Loh, kok repot-repot? Masa tamu yang ngasi bngkisan sih?"
"Santai aja lah, lagi pula cuma itu". Jelasku sambil menyerahkan sebuah plastik kresek hitam kepadanya.
bersambung...
Pagi telah menyingsing. Menyemburatkan keceriaan yang tak terkira. Namun ketegangan mengharu biru dalam hati kami. Dua ornga gadis yang akhirnya menamatkan studinya di sebuah perguruan tinggi, menanti hari jadinya. Impian itu akhirnya teralisasi. Hanya beberapa jam lagi. Setelah matahari benar-benar bulat, kami dengan berdebar menyandang sebuah gelar sebagai serang sarjana pembaharu ekonomi islam. Tertawa riang dan senyum selebar-lebarnya di sepan lensa kamera bersama ayah-bunda, adik-kakak, kawan-kawan. Ah, gembiranya…
Tak sabar rasanya.padahal hanya tinggal beberpa jam saja menunggu. Menunggu ayah-bunda, adik-kakak datang menjemput, kemudian pergi bersama. Menunggu sebuah nama yang akan diumumkan dengan rasa haru dan takjub. Menunggu disematkan mimpi itu oleh kuasa-Nya.
Saking bahagianya, aku tak sadar. Seorang gadis dengan balutan jilbab putihnya meringkuk di sudut kamar, menggenggam sesuatu. Matanya sembab. Tak terpancar sedikitpun raut kebahagiaan. Atau, Aku salah? Gadis itu mengusap lembah pipinya yang basah sembari mengulang istighfar.
“Teh…”. Ia tak menyahut. Pandangannya tertunduk, memeluk lekat-lekat kedua kakinya. Wajah sendunya bertumpu pada kedua lututnya. Tubuhnya yang dingin gemetaran.
Kuhampiri ia. Kugenggam erat kedua tangannya, berharap menghadirkan kehangatan menyelimuti tubuhnya. Sekelebat getaran gelombang listrik menjalar ke tubuhku. Bak sebuah induksi listrik. Genggaman erat jari-jari tangan ibarat kumparan tergulung hinga menimblkan medan magnet karena loncatan listri berbeda tegangan. Terciptalah fluks magnet penghasil informasi melalui induksinya dalam sepersekian detik, menembus tapak tanganku.
Syaraf-syaraf tanganku mulai bekerja – menghanrtarkan induksi melewati sekawanan dendrit dan akson. Berestafet ria laksana jet temput menunggangi syaraf sensorik memasuki neuron-neuron otak dan dalam sekejap menghasilkan gambaran. Teramat jelas. Sungguh ajaib! Maha suci sang pencipta sistematika berkecepatan kilat yang teramat kompleks.
Ia menengadah, kutata lekat-lekat kedua mata sendunya. Aku pun dapat membaca lebaran kisah yang terlukis di kedua matanya. Aku tertunduk, menyaksikan ubin-ubin putih nan teratur.
***
Akhirnya, sebuah singgasana – dalam opera mini realita ibukota di atas bus berjalan yang melaju – berhasil kami duduki. Terasa nyaman sekali. Walau berderet retakan di sana-sini bercapur besi yang teroksidasi, menguning dimakan waktu. Opera mini pun berhenti. Belasan orang berjejal masuk berebut tempat. Rentetan bangku kosong berwarna biru akhirnya penuh sesak penumpang.
Masih hangat pengalaman yang baru saja terjadi. Sambil mengatur napas yang masih tersengal karena berlari mengejar bus putih-hijau yang hendak menyerobot kemacetan berpacu dengan lampu hijau yang hampir usai. Kami tergopoh-gopoh meraih gagang pintu bus itu. Tiba-tiba, sang sopir menginjak pedal terlampau dalam – menghindari sebuah motor bebek yang melintas mendadak dari arah kanan hendak berbelok – saat kami berhasil meraih gagang pintu bus yang melemparkan wajah kami di kaca dekat pegangan besi. Kami yang tak siap akhirnya beradu badan menumbuk sisi bus, meringis kesakitan.
Bus berhenti. Sang sopir mengibaskan tangan hendak meregangkan diri sembari menghela nafas. Hampir saja sebuah tragedi jalanan akan terjdi. Tapi, dasar sopir! Hardikan, caci-maki hingga sumpah serapah keluar dari lidahnya. Tangannnya mengepal bergerak naik-turun ke arah si pengendara.
Seenak kami bertatapan. Kemudian bangkit dan tergopohgopoh mencari tempat duduk. Dengan tatapan nanar, napas tersengal dan dahi mengerenyit, tentunya diselimuti rasa takut, kesal dan hati berdebar saat aku beradu pandang dengan kondektur bus yang sejak tadi menertawakan nasib kami. Tanganku mengepal. Argghhh…memangnya ini lelucon! Hardikku dalam hati.
Tawa pun mengalir. Beginilah nasib kami. Dua orang mahasiswi berbalut jilbab menghentakan kaki tiap harinya bersama opera jalanan yang bergerak di atas roda. Biar peluh menggerogti tenaga kami, tapi ia tak akan pernah meruntuhkan semangat kami menuntut ilm8. Dan dalam bus ini kami memulai cerita.
Hari ini adalah hari bersejarah. Walaupun kami harus menelan ludah menahan amarah dan dahaga pada sang kondektur bus putih-hijau, tentunya pada sang sopir. Masih hangat ingatan kami sore tadi sebelum akhirnya senja menghampiri mempertemukan kami pada bus putih-hijau dan awaknya. Ya, kami juga berlari-lari. Setelah hamper setengah jam menunggu, bus kuning “Koantas Bima” bernomor 102 akhirnya muncul. Kami sedang bertransaksi di sebuah warung kecil, terkesiap.
Setelah mengantongi sejumlah uang kembalian, kami berancang-ancang mengejar bus. Beradu cepat dengan bus yang merayap. Uniknya, sang kondektur – yang ternyata seorang wanita paruh baya – malah menyemangati kami. Bus berhenti di tengah penuhnya arus kendaraan di sepanjang jalan kawasan Ciputat. Kami menyambangi bus dengan suka cita dan riuh-ria tepukan sang ibu kondektur. Geli!
Lipi, lipi, lipi… Tanah Abang..!!!
Bus tak terlau ramai. Ibu kondektur membunyikan uang logam, pertanda ongkos harus segera disiapkan. Kuamati wajahnya, sepertinya baru kepal empat. Bus melaju dengan cepat, sang sopir nampak bergairah.
Begitu banyak peristiwa yang kami rekam di dalam bus-bus yang kami tumpangi. Peritiwa nyata, tanpa rekayasa sedikitpun. Peristiwa yang mengalirkan tawa seperti yang barusan kami alami, mendebarkan bila bertemu orang-orang yang menggidikan bulu roma, peristiwa unik dan penuh hikmah, bahkan tak jarang peristiwa-perisrtiwa yang menyadarkan kalbuku mengenai realita bangsa ini, khususnya kota Jakarta tercinta ini. Itu dia, kenapa aku menyebutnya opera realita kehidupan ibukota. Karena di dalamnya selalu dipentaskan opera-opera namun bukan sandiwara yang sering terlupa, opera yang menggetarkan benang kalbu, opera nyata tanpa polesan para tokoh-tokohnya, tanpa banyak suara yang ingin menang sendiri dan tanpa tipu daya orang-orang yang haus kekuasaan.
***
"Asslammualaikum...". Sebuah wajah ramah pemilik mata sendu membuka pintu menyambut diriku.
"Dateng sendiri Na?". Aku mengangguk. Matanya menyorot sepeda yang kuparkirkan di tepi jalan kecil samping rumahnya.
"Bawa sepeda? Masukan aja sepedanya ke dalam sini.."
"Iya, dong! Namanya juga laskar pencinta bumi, hehe...". Jawabku sambil menggiring sepeda ungu kesayangku masuk ke sebuah rumah mengikuti instruksinya.
"Teh Lilis, ini ..".
"Loh, kok repot-repot? Masa tamu yang ngasi bngkisan sih?"
"Santai aja lah, lagi pula cuma itu". Jelasku sambil menyerahkan sebuah plastik kresek hitam kepadanya.
bersambung...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar