Selasa, 23 November 2010

Hadiah Untuk Bunda

***

Pagi telah menyingsing. Menyemburatkan keceriaan yang tak terkira. Namun ketegangan mengharu biru dalam hati kami. Dua ornga gadis yang akhirnya menamatkan studinya di sebuah perguruan tinggi, menanti hari jadinya. Impian itu akhirnya teralisasi. Hanya beberapa jam lagi. Setelah matahari benar-benar bulat, kami dengan berdebar menyandang sebuah gelar sebagai serang sarjana pembaharu ekonomi islam. Tertawa riang dan senyum selebar-lebarnya di sepan lensa kamera bersama ayah-bunda, adik-kakak, kawan-kawan. Ah, gembiranya…

Tak sabar rasanya.padahal hanya tinggal beberpa jam saja menunggu. Menunggu ayah-bunda, adik-kakak datang menjemput, kemudian pergi bersama. Menunggu sebuah nama yang akan diumumkan dengan rasa haru dan takjub. Menunggu disematkan mimpi itu oleh kuasa-Nya.

Saking bahagianya, aku tak sadar. Seorang gadis dengan balutan jilbab putihnya meringkuk di sudut kamar, menggenggam sesuatu. Matanya sembab. Tak terpancar sedikitpun raut kebahagiaan. Atau, Aku salah? Gadis itu mengusap lembah pipinya yang basah sembari mengulang istighfar.

“Teh…”. Ia tak menyahut. Pandangannya tertunduk, memeluk lekat-lekat kedua kakinya. Wajah sendunya bertumpu pada kedua lututnya. Tubuhnya yang dingin gemetaran.

Kuhampiri ia. Kugenggam erat kedua tangannya, berharap menghadirkan kehangatan menyelimuti tubuhnya. Sekelebat getaran gelombang listrik menjalar ke tubuhku. Bak sebuah induksi listrik. Genggaman erat jari-jari tangan ibarat kumparan tergulung hinga menimblkan medan magnet karena loncatan listri berbeda tegangan. Terciptalah fluks magnet penghasil informasi melalui induksinya dalam sepersekian detik, menembus tapak tanganku.

Syaraf-syaraf tanganku mulai bekerja – menghanrtarkan induksi melewati sekawanan dendrit dan akson. Berestafet ria laksana jet temput menunggangi syaraf sensorik memasuki neuron-neuron otak dan dalam sekejap menghasilkan gambaran. Teramat jelas. Sungguh ajaib! Maha suci sang pencipta sistematika berkecepatan kilat yang teramat kompleks.

Ia menengadah, kutata lekat-lekat kedua mata sendunya. Aku pun dapat membaca lebaran kisah yang terlukis di kedua matanya. Aku tertunduk, menyaksikan ubin-ubin putih nan teratur.

***

Akhirnya, sebuah singgasana – dalam opera mini realita ibukota di atas bus berjalan yang melaju – berhasil kami duduki. Terasa nyaman sekali. Walau berderet retakan di sana-sini bercapur besi yang teroksidasi, menguning dimakan waktu. Opera mini pun berhenti. Belasan orang berjejal masuk berebut tempat. Rentetan bangku kosong berwarna biru akhirnya penuh sesak penumpang.

Masih hangat pengalaman yang baru saja terjadi. Sambil mengatur napas yang masih tersengal karena berlari mengejar bus putih-hijau yang hendak menyerobot kemacetan berpacu dengan lampu hijau yang hampir usai. Kami tergopoh-gopoh meraih gagang pintu bus itu. Tiba-tiba, sang sopir menginjak pedal terlampau dalam – menghindari sebuah motor bebek yang melintas mendadak dari arah kanan hendak berbelok – saat kami berhasil meraih gagang pintu bus yang melemparkan wajah kami di kaca dekat pegangan besi. Kami yang tak siap akhirnya beradu badan menumbuk sisi bus, meringis kesakitan.

Bus berhenti. Sang sopir mengibaskan tangan hendak meregangkan diri sembari menghela nafas. Hampir saja sebuah tragedi jalanan akan terjdi. Tapi, dasar sopir! Hardikan, caci-maki hingga sumpah serapah keluar dari lidahnya. Tangannnya mengepal bergerak naik-turun ke arah si pengendara.

Seenak kami bertatapan. Kemudian bangkit dan tergopohgopoh mencari tempat duduk. Dengan tatapan nanar, napas tersengal dan dahi mengerenyit, tentunya diselimuti rasa takut, kesal dan hati berdebar saat aku beradu pandang dengan kondektur bus yang sejak tadi menertawakan nasib kami. Tanganku mengepal. Argghhh…memangnya ini lelucon! Hardikku dalam hati.

Tawa pun mengalir. Beginilah nasib kami. Dua orang mahasiswi berbalut jilbab menghentakan kaki tiap harinya bersama opera jalanan yang bergerak di atas roda. Biar peluh menggerogti tenaga kami, tapi ia tak akan pernah meruntuhkan semangat kami menuntut ilm8. Dan dalam bus ini kami memulai cerita.

Hari ini adalah hari bersejarah. Walaupun kami harus menelan ludah menahan amarah dan dahaga pada sang kondektur bus putih-hijau, tentunya pada sang sopir. Masih hangat ingatan kami sore tadi sebelum akhirnya senja menghampiri mempertemukan kami pada bus putih-hijau dan awaknya. Ya, kami juga berlari-lari. Setelah hamper setengah jam menunggu, bus kuning “Koantas Bima” bernomor 102 akhirnya muncul. Kami sedang bertransaksi di sebuah warung kecil, terkesiap.

Setelah mengantongi sejumlah uang kembalian, kami berancang-ancang mengejar bus. Beradu cepat dengan bus yang merayap. Uniknya, sang kondektur – yang ternyata seorang wanita paruh baya – malah menyemangati kami. Bus berhenti di tengah penuhnya arus kendaraan di sepanjang jalan kawasan Ciputat. Kami menyambangi bus dengan suka cita dan riuh-ria tepukan sang ibu kondektur. Geli!

Lipi, lipi, lipi… Tanah Abang..!!!

Bus tak terlau ramai. Ibu kondektur membunyikan uang logam, pertanda ongkos harus segera disiapkan. Kuamati wajahnya, sepertinya baru kepal empat. Bus melaju dengan cepat, sang sopir nampak bergairah.

Begitu banyak peristiwa yang kami rekam di dalam bus-bus yang kami tumpangi. Peritiwa nyata, tanpa rekayasa sedikitpun. Peristiwa yang mengalirkan tawa seperti yang barusan kami alami, mendebarkan bila bertemu orang-orang yang menggidikan bulu roma, peristiwa unik dan penuh hikmah, bahkan tak jarang peristiwa-perisrtiwa yang menyadarkan kalbuku mengenai realita bangsa ini, khususnya kota Jakarta tercinta ini. Itu dia, kenapa aku menyebutnya opera realita kehidupan ibukota. Karena di dalamnya selalu dipentaskan opera-opera namun bukan sandiwara yang sering terlupa, opera yang menggetarkan benang kalbu, opera nyata tanpa polesan para tokoh-tokohnya, tanpa banyak suara yang ingin menang sendiri dan tanpa tipu daya orang-orang yang haus kekuasaan.

***

"Asslammualaikum...". Sebuah wajah ramah pemilik mata sendu membuka pintu menyambut diriku.

"Dateng sendiri Na?". Aku mengangguk. Matanya menyorot sepeda yang kuparkirkan di tepi jalan kecil samping rumahnya.

"Bawa sepeda? Masukan aja sepedanya ke dalam sini.."

"Iya, dong! Namanya juga laskar pencinta bumi, hehe...". Jawabku sambil menggiring sepeda ungu kesayangku masuk ke sebuah rumah mengikuti instruksinya.

"Teh Lilis, ini ..".

"Loh, kok repot-repot? Masa tamu yang ngasi bngkisan sih?"

"Santai aja lah, lagi pula cuma itu". Jelasku sambil menyerahkan sebuah plastik kresek hitam kepadanya.


bersambung...

Hanya Ingin Share...

Malam itu, tepatnya 4 Desember 2009, di sebuah jembatan aku bertemu dengan salah seorang teman lama. Dia melambaikan tangan, aku pun menghampirinya. Basa-basi pun mengalir, dan tiba-tiba kata-kata menyeruak hendak memuntahkan batu yang sejak tadi ditelannya.

Ceritanya begini, tadi sore setelah jam 4 sore, ia siap pulang ke rumah setelah mata kuliah yang padat. Namun, ternyata temannya mengajaknya berkenalan dengan dua orang kakak kelas dan kemudian ia membantu kedua kakak itu untuk mengisi angket.

Nah, ketika pengisian angket dimulai, Kedua orang itu mulai mengawali obrolan ringan seputar film Kiamat 2012. Namun, lamat-lamat obrolan menjurus pada hal-hal yang membuatnya terhunus. Ia mengemukakan pendapatnya,

"Bukankah Al-Quran adalah petunjuk dan pedoman hidup, seharusnya ia memudahkan bukan menyusakan!!!"

Teman saya ini, mulai gusar. Ia mulai tak peduli apa yang dibicarakan kakak kelasnya di depannya. Lalu, Ia bertanya pada temannya.

"Tahu gag Kalian apa inti dari Al-Quran?? Terus kenapa Al-Fatihah terdapat di awal dan An-Nass ada di akhir???"

Sebagian temannya menujuk teman saya ini, sambil berkata, "Dia nih Kak, dia kan pernah ikutan ROHIS"

NAh, jawaban teman saya itu adalah "Intinya ya mengesakan Tuhan, Allah, melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya." Nah untuk masalah mengapa pertama dan terakhir, ia mengaku tak menjawab. Karena ia merasa tahu namun lupa apa alasannya.

Kakak kelasnya mulai memulai pembicaraan, seorang cowok (istilah yang digunakan teman saya dengan penampilan "ikhwan" - karena teman saya heran terhadap tingkahnya karena begitu dekat dengan wanita).

"Saya pernah ikut ROHIS, tapi saya belajar agama bukan dari ROHIS. Saya belajar sendiri..."

(disini ada kesalahatan fatal, mengenai penyebutan ROHIS sebagai tersangka, padahal tempat belajar agama bukanlah ROHIS saja, karena ia hanyalah sebuah wadah)

Teman saya agak naik darah.

Lalu, kakak kelas yang cewek (istilah teman saya itu - ia berpendapat demikian karena sang wanita ini berpakaian biasa saja hampir sama dengannya, kaos panjang-celana jeans-kerudung seadanya).

"Inti dari Al-Quran adalah Al-Fatihah dan An-Nas, tahukah kalian, keduanya memiliki hubungan...". Ia melihat teman-temanya yang mulai tertarik.

(disini saya mulai tertarik bercampur heran. Bisa-bisanya ia berujrar demikian. Bukankah pendapat teman saya itu betul? Inti dari serangkaian ibadah dan Al-Quran adalah mengenai ubudiyah, Surah Al-Ikhlas, "Keesaan Allah")

Lalu, ia memberi alasan agar cepat pulang dengan alasan ada hajatan di rumahnya - kalau alasan ini memang benar. Namun, kakak kelasnya malah berkata,..."Ya, udah kita terusin lain kali ya...ada yang tertarik kan..???

Hah, lain kali??? Hal semacam ini masih ada terusannya?? Begitulah kiranya pikiran teman saya. Dengan Ketus ia menjawab, "..Tertarik, tapi gag tertarik amat!!!!"

"Wah...parah kamu xxx, kafir Loe!!!" Begitulah reaksi kawan-kawannya yang lain.

Teman-temannya yang menurutnya tak suka memaksa tiba-tiba seperti terhipnotis setelah diajak membeli minuman dengan Kakak kelasnya yang wanita tadi.

"Ya udah si xxx ikut ajah, lagian pula di Mall ini bukan di Masjid". Paksa temannya.

(disini saya tambah heran, belajar agama kok di Mall? Menurut teman saya ini, kalau di masjid ia khawatir kalau ini aliran yang "...", sedang kalau di Mall jika terjadi sesuatu maka mereka bisa lari. Aku tertawa)

"Lu, Kenapa si??? Kalau emang sesat, gua gag tau. Yang jelas kita ikut aja. Kalau-kalau sesat, nanti kita keluar..." Pinta temannya kembali setelah ia mengungkapkan seribu alasan bahkan dengan mengancam temannya bila ia tetap dipaksa mengikutinya.

"Gua ngerasa bener-bener takut ampe marah ama kedua orang itu. Walau gini-gini, gua masih ngerti. Masa' mereka bilang begitu. Gua ngerasa ada yang gag beres!!". Begitulah kata-kata terakhir yang ia kemukakan pada saya sebelum meutup ceritanya yang ia ulang beberapa kali, mungkin 7kali dengan ekspresi begitu ramai: takut, geram, aneh, heran, semuanya bercampur aduk.

Aku Tersenyum.